Salurkan Hak Pilih Anda, Yuk Jangan Jadi Golput di Pilpres 2019 !

By | 13 September 2018
golput-pemilu-indonesia
Mereka yang punya hak pilih tapi secara sadar memilih untuk tak menggunakannya atau biasa disebut golongan putih alias golput selalu ada dalam setiap Pemilu.
Pada pemilu 1999, tingkat partisipasi pemilih mencapai 90 persen lebih, setelahnya, golput selalu melebihi angka 15 persen dari jumlah pemilih pada Pemilu legislatif maupun eksekutif.

“Saatnya capres-cawapres yang beradu program menarik pemilih. Faktor program calon dan profil calon memang bisa mempengaruhi minat pemilih”

Dilansir dari laman tirto.id dengan judul berita ” Membedah Potensi Gelombang Golput di Pilpres 2019″, tulisan tersebut mencermati tentang gelombang golput yang tak pernah surut dan bagaimana meminimalisirnya.

Hingga kini, isu meningkatnya (potensi) angka golput pada ajang Pilpres 2019 belum juga reda, terutama pada pemilih pemula. Menurut data KPU, ada sekitar 20-30 persen suara pemilih pemula yang akan diperebutkan pada pemilu 2019.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (PDF), angka golput menunjukkan tren yang meningkat. Tingkat golput awalnya hanya sebesar 8,60 persen pada 1955, lalu turun 5,2 persen menjadi 3,4 persen pada 1971. Kemudian, pada Pemilu 1977 hingga 1997, tingkat golput perlahan mengalami kenaikan.Golput dalam tulisan ini mendasarkan pada pengertian tingkat partisipasi pemilih untuk datang ke TPS pada hari pemungutan suara.

Secara umum, tingkat golput di era Orde Baru (1955-1997) cenderung lebih rendah dibandingkan era setelahnya, yaitu berada pada rentang 3 hingga 6 persen. Hal ini terjadi karena pemilihan pada era ini berupa pengalaman mobilisasi, bukan partisipasi.

Pada Pemilu legislatif (Pileg) 2004, jumlah golput mencapai 15,9 persen. Angka itu meningkat pada pemilu presiden putaran pertama dan kedua. Angka golput saat Pilpres 2004 mencapai 21,8 persen dan 23,4 persen.

Pada era reformasi, tingkat golput semakin memprihatinkan. Angkanya melambung hingga puncaknya pada Pileg 2009 yang mencapai 29,1 persen. Meningkatnya angka golput berarti partisipasi pemilih semakin menurun. Selain itu, ini juga mengindikasikan tingkat kepercayaan kepada proses demokrasi yang menurun.

Infografik Periksa Data Golput Pemilu Indonesia
Tingkat golput dalam pemilu di Indonesia dari tahun ke tahun (tirto.id

Pada Pileg 2009, jumlah golput meningkat hingga 29,1 persen. Pada Pilpres tahun yang sama, jumlah pemilih yang tak menggunakan suaranya berjumlah 28,3 persen. Keberadaan golput berlanjut di Pileg 2014, dengan 24,89 persen pemilih masuk kategori ini. Pada saat Pilpres 2014, angka golput mencapai titik tertinggi yakni 30 persen lebih dari jumlah pemilih.

Golput pada Pilpres

Indonesia terhitung sudah menjalani tiga kali pemilihan presiden di era reformasi, yaitu Pilpres 2004, 2009, dan 2014. Dari ketiga pemilihan tersebut, angka golputnya mengalami kenaikan yang cukup signifikan.

Infografik Periksa Data Golput Pemilu Indonesia

Pada 2004, proses pemilihan presiden dilakukan dua putaran, karena kelima pasangan belum ada yang memperoleh suara lebih dari 50 persen pada putaran pertama. Ternyata, angka golput meningkat. Pada putaran pertama Pilpres 2004, angka golputnya sebesar 21,8 persen dan menjadi 23,4 persen pada putaran kedua.

Sri Yuniarti (2009) mengemukakan bahwa lonjakan golput pada 2004 disebabkan oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Megawati serta bangunan sistem politik yang ada pada saat itu. Tidak berfungsinya lembaga-lembaga perwakilan masyarakat, khususnya DPR, DPRD, dan MPR, serta maraknya kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang melibatkan anggota lembaga perwakilan rakyat adalah alasan naiknya angka golput pada Pemilu 2004.

Lima tahun setelahnya, angka golput kembali meningkat hingga 4,9 persen menjadi 28,30 persen pada pilpres 2009. Lonjakan golput saat itu lebih dikarenakan kekacauan administratif KPU dalam menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT). Mobilitas penduduk yang semakin tinggi disertai dengan kurangnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan perubahan alamat berakibat pada hilangnya hak pilih.

Pilpres 2009 juga turut memberi sinyal kemungkinan hubungan antara calon petahana dengan angka golput. SBY memang berhasil memenangi kembali pilpres tahun itu, tapi angka golput yang tinggi patut menjadi cacatan. Jika dicermati, hal yang sebenarnya sama pernah terjadi pada 2004, ketika petahana Megawati berkompetisi dalam pemilu tahun tersebut.

Faktor ketidakpercayaan terhadap petahana lebih mudah dilihat pada 2004 daripada 2009. Perbedaan angka golput pileg dengan pilpresnya cukup besar. Pada Pileg 2004, angka golput hanya 15,90 persen, sementara angka golput pilpres mencapai 21,80 persen (putaran pertama) dan 23,4 persen (putaran kedua).

Dalam kasus SBY pada 2009, angka golput pileg tercatat sebesar 29,10 persen, beda tipis dengan angka golput pilpres sebesar 28,30 persen. Sinyal faktor ketidakpercayaan masyarakat saat itu tidak hanya berlaku pada calon presiden, tapi juga kepada lembaga leglislatif.

Terakhir, pada 2014 angka golput mencapai 29,01 persen. Pilpres 2014 diikuti oleh dua kandidat yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Jokowi yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta maju dengan usungan koalisi PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, dan Hanura. Namun, rekam jejak Jokowi saat memimpin Solo dan Jakarta belum mampu meningkatkan partisipasi pemilih Indonesia.

Menariknya, sekalipun pemenang pilpres 2014 adalah calon baru, ada perbedaan pada angka partisipasi pemilih pileg dengan pilpresnya. Angka golput Pileg 2014 mencapai 24,89 persen, sementara dalam pilpres angkanya bertengger pada 29,01 persen. Pada Pemilu 2014, persentase golput pileg lebih kecil daripada angka 2009. Padahal, banyak yang menilai aktivitas rakyat dalam kampanye Pilpres 2014 dalam bentuk kesukarelaan jauh lebih besar daripada 2009.

Pada wilayah manakah angka golput pada Pilpres 2014 terjadi?

Berdasarkan provinsi, Aceh merupakan wilayah yang tingkat golputnya mengalami kenaikan cukup tinggi. Pada Pilpres 2009 angka golputnya sebesar 22,94 persen, kemudian naik menjadi 38,61 persen pemilih golput pada 2014. Ada indikasi bahwa masyarakat di Aceh menunjukkan luapan kekecewaan terhadap pemerintah. Terlebih sejak bencana yang menimpa Aceh, 2004 silam.

Berbeda dengan di Aceh, meski sama-sama pernah terdampak bencana, angka golput di D.I.Yogyakarta, turun sebesar 3,86 persen dari 24,03 persen pada 2009 menjadi 20,16 persen di 2014. Sosialisasi yang dilakukan oleh KPU DIY untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu dapat dikatakan berhasil.

Infografik Periksa Data Golput Pemilu Indonesia
Infografik Periksa Data Golput Pemilu Indonesia (tirto.id)

Sementara itu, rendahnya angka golput di Papua pada 2014 yang hanya 13,38 persen, menegaskan adanya faktor variasi kelokalan.

Salah satu sistem pemungutan suara yang tetap digunakan di beberapa wilayah Papua adalah sistem noken, bukan prinsip one person one vote (opovov). Sistem noken memperhitungkan peranan tata cara adat setempat dalam berpartisipasi dalam pemilu.

Lima provinsi dengan angka golput tinggi pada Pilpres 2014 seperti Kepulauan Riau (40,57 persen), Aceh (38,61 persen), Riau (37,27 persen), Sumatera Utara (37,25 persen), dan Sumatera Barat (36,26 persen) patut menjadi perhatian, terutama kedua kubu yang akan bersaing pada Pilpres 2019 nanti.

Bagaimana cara membidik daerah-daerah tersebut? Salah satunya dengan menyasar program yang tepat untuk daerah-daerah yang berpotensi memiliki pemilih golput tinggi. Hal ini bisa menjadi tantangan tersendiri bagi calon presiden petahana Joko Widodo untuk membuktikan pembangunan Indonesia merata dan tidak hanya terpusat di Jawa.

Angka golput yang tinggi di Sumatera Barat, misalnya, menurut studi dari Pusat Penelitian Politik LIPI bekerjasama dengan KPU dengan judul “Partisipasi pemilih pada pemilu 2014: Studi Penjajakan” (PDF) disebabkan salah satunya karena kurangnya sosialisasi. Selain itu, persoalan orientasi politik warga di beberapa kabupaten disebut memberi sumbangsih.

Dengan menggunakan hasil yang pernah terjadi pada tahun 2004 dan 2009; setidaknya kita bisa memberi dua garis besar. Jika angka golput pilpres semakin tinggi dan persentasenya jauh di atas dengan angka golput pileg, ia bisa menandakan faktor ketidakpercayaan terhadap petahana, seperti pada 2004.

Kedua, andaikan angka golput pilpres lebih rendah daripada angka pilegnya, maka persoalan administratif terkait dengan data pemilihlah yang cenderung yang menjadi faktor.

Bagaimana pada pemilihan tahun depan?

Imbauan agar masyarakat tidak golput selalu disampaikan peserta, pegiat, penyelenggara, hingga pengawas Pemilu. Seruan serupa juga disampaikan jelang dimulainya Pemilu serentak tahun depan. Imbauan agar pemilih menggunakan hak suaranya mulai dikumandangkan sejak jauh-jauh hari. Soalnya, ada kemungkinan angka golput tetap tinggi.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin mengatakan golput memang pilihan setiap pemegang hak suara, dan itu dijamin Undang-undang.

Haris Azhar dalam Hukum online menyebut golput sah secara hukum karena dijamin pada Pasal 28 UUD dan Pasal 23 UU tentang HAM . Pasal 28 UUD berisi apa-apa saja yang dianggap hak asasi tiap manusia, sementara Pasal 23 UU HAM berisi: “(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya; (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”

Meski begitu, kata Afif, pemilih sebaiknya menggunakan haknya.”Penyelenggara harapkan dalam Pemilu 2019 semakin besar partisipasi pemilih. Semakin banyak masyarakat memilih, akan semakin baik legitimasi Pemilu kita,” ujar Afifuddin kepada Tirto, Minggu (12/8/2018).

Menurut Afif, tanggung jawab menaikkan tingkat partisipasi ada pada pundak semua pemangku kepentingan Pemilu. Namun, ia meminta agar kandidat pada Pileg maupun Pilpres, lebih aktif untuk menarik atensi calon pemilih. “Saatnya capres-cawapres yang beradu program menarik pemilih. Faktor program calon dan profil calon memang bisa mempengaruhi minat pemilih,” katanya.

Rasa Kecewa dan Faktor Lain

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan salah satu faktor yang bisa membuat pemilih tidak menggunakan suaranya adalah rasa kecewa. “Ancaman tingginya golput bisa saja diembuskan karena kekecewaan sebagian masyarakat terhadap kandidat,” kata Ujang.

Selain karena rasa kecewa, golput juga bisa muncul karena masyarakat merasa tidak diberi kesempatan mengusulkan capres dan cawapresnya sendiri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pengusulan capres-cawapres memang hanya bisa dilakukan partai politik peserta pemilihan periode sebelumnya. Pencalonan juga dibatasi hanya bisa dilakukan parpol atau koalisi yang mencapai ambang batas tertentu.

“Rakyat tidak diberi kesempatan untuk mengusulkan calonnya sendiri. Golput juga dipengaruhi karena sikap apolitis masyarakat. Padahal seluruh hidup dan kehidupan rakyat ditentukan oleh itu,” kata Ujang.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Luky Sandra Amalia mengatakan yang perlu diperjelas terlebih dulu adalah konsep golput. Mereka yang memilih golput beda dengan pemilih yang tak menggunakan hak suara. Mereka yang lebih memilih libur alih-alih ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) misalnya, tak bisa disebut golput.

“Pemilih yang tidak memilih itu tidak sama dengan golput. Filosofinya beda. Sejarah golput dasarnya ideologi,” ujar Luky.

Tingkat partisipasi pemilih rendah dengan tak menggunakan haknya jika para kandidat atau tim sukses masih memainkan sentimen Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).

Yups, seperti disebutkan di awal, untuk mengurangi golput ini, capres-cawapres perlu beradu program menarik untuk para pemilih.

Sumber: tirto.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *