Belajar Bahasa Sunda : Undak-usuk Basa Sunda / Tatakrama Basa Sunda.
Undak-usuk dalam Bahasa Sunda (undak-usuk; tingkatan bahasa; unggah-ungguh; tata krama). Ada 3 tingkatan dalam basa/Bahasa Sunda yaitu basa kasar, basa loma (akrab), basa hormat/lemes (santun).
“Naon basa lemesna irung ? ” (Apa bahasa halusnya hidung?). Jawabannya : ” pangambung “.
“Naon lemesna biwir ?”, jawabannya : “lambey”.
“Naon basa lemesna leungeun ?” ; jawabannya : panangan, “Naon basa lemesna suku ?”, jawabannya : sampean, dst.
Para pembaca yang budiman, sesungguhnya dalam pertanyaan soal di atas, kita sedang membahas dan membicarakan yang namanya Undak-usuk Basa Sunda / Tatakrama/ Tingkatan Bahasa Sunda.
Dalam artikel Seri Pelajaran Belajar Bahasa Sunda kali ini, kita akan mempelajari tentang Undak-usuk Basa Sunda/ Tingkatan Berbahasa Sunda/ Tatakrama Bahasa Sunda, yakni ragam Bahasa Sunda (diksi) yang digunakan atau dipilih dalam percakapan atau paguneman berdasarkan keadaan/ hierarki / tingkatan orang yang berbicara, lawan bicara atau yang diceritakan.
Adapun Tujuan Undak-usuk basa/ tatakrama Bahasa Sunda itu sendiri yaitu untuk saling menghargai dan menghormati antara sesama, dalam bahasa sunda. Tentu saja kata-kata yang diucapkan dikatakan hormat apabila disertai dengan raut muka/mimik, gaya pengucapan (lentong), serta gerakan tubuh (rengkuh).
Di Tatar Sunda, Bahasa Sunda merupakan bahasa induk yang perlu dirawat dan dilestarikan (dimumule) karena merupakan identitas hidup masyarakat Suku Sunda.
Saat ini banyak orang Sunda yang menggunakan bahasa pengantar sehari-hari dengan Bahasa Indonesia karena dinilai lebih praktis dan tidak mengenal undak-usuk basa/ tingkatan/ hierarki bahkan dengan Bahasa deungeun / bahasa luar negeri seperti Bahasa Inggris.
SEJARAH UNDAK USUK BAHASA SUNDA
Menurut para ahli, masuknya undak usuk basa mulai merasuk ke tatanan sunda, baru dimulai pada abad ke–17, di saat sebagian tatar Sunda ada di bawah kekuasaan Mataram, terutama di wilayah Priangan Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang, dan Cianjur.
Seperti dijelaskan dalam Sejarah Tatar Sunda bahwa pada mulanya Priangan hanya terdapat dua daerah yang berdiri sendiri, yaitu Sumedang dan Galuh. Pada 1595 Galuh dikuasai oleh Mataram di bawah pemerintahan Panembahan Senopati.
Lalu setelah kekuasaan Mataram beralih ke tangan Sultan Agung, Sumedang pun berserah diri kepada Mataram. Pada perjalanannya, pembagian wilayah Priangan mengalami beberapa perubahan.
Pasca pemberontakan Dipati Ukur, berdasarkan Piagam Sultan Agung, Priangan di luar Galuh terdiri dari Sumedang, Sukapura, Bandung, dan Parakan Muncang.
Salah satu dampak dari kekuasaan Mataram di tatar Sunda adalah adanya hierarki sosial melalui bahasa. Bahasa Sunda yang sebelumnya tidak mengenal stratifikasi, pelan-pelan mulai mengenal tingkatan yaitu halus, sedang dan kasar yang mengadopsi tingkaran bahasa Jawa yang menerapkan bahasa kasar/ ngoko dan bahasa halus/ kromo.
Hal ini menunjukkan, atau mencerminkan, hierarki bahasa yang juga sudah lebih dulu dikenal di pusat-pusat kekuasaan Mataram di Jawa yang menerapkan tingkatan bahasa yakni strata krama inggil-krama madya-ngoko dalam bahasa Jawa diadaptasi menjadi lemes-sedeng-kasar dalam bahasa Sunda. .
Jadi bisa dikatakan adanya hierarki/tingkatan bahasa dalam bahasa sunda di tatar sunda, terjadi setelah abad ke-17 saat tatar sunda ditaklukkan kerajaan Mataram dan menancapkan pengaruhnya ke dalam tatanan sunda.
Hingga tahun 1600-an, orang Sunda sama sekali tidak mengenal undak-usuk (tingkatan) dalam berbahasa. “Pada masa era kerajaan Sunda seperti Pajajaran berjaya, bahasa Sunda adalah bahasa yang sangat egaliter dan demokratis,” ungkap Ajip Rosidi, salah seorang Sastrawan Sunda dalam sebuah wawancara.
Kenyataannya, semua naskah yang berasal dari masa Kerajaan Sunda abad ke-16 seperti Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) dan Carita Parahyangan (sekitar 1580) menggunakan bahasa yang sangat egaliter.
Termasuk dalam manuskrip-manuskrip Sunda tua serta prasasati-prasasti sebelum abad ke-17, kata-kata dalam bahasa lemes (halus) bisa dikatakan tidak ada.
Alih-alih demikian, kata-kata siya (kamu), kawula (saya), beja (berita), dititah (diperintahkan) serta banyak kata yang dikenal hari ini sebagai bagian dari bahasa Sunda kasar justru sering banyak dijumpai di dokumen-dokumen tua tersebut.
Seperti dalam tiga naskah Sunda kuna sebelum abad 17, karya sastra yang pastilah dianggap sebagai karya yang mencerminkan bahasa terbaik pada zamannya, kata “aing” digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang usianya lebih muda (Pendakian Sri Ajnyana), dengan orang yang lebih tua (Kisah Bujangga Manik: Jejak Langkah Peziarah), dan bahkan ketika berdoa kepada Yang Maha Kuasa (Para Putera Rama dan Rawana).
Di mana dalam bahasa Sunda saat ini, kata-kata tersebut dianggap sebagai bahasa Sunda kasar yang tidak pantas digunakan dalam percakapan resmi/formal, juga tidak layak digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau kepada orang terhormat. Namun naskah sastra klasik Sunda malah menggunakan kata-kata tersebut.
“Itu artinya, dahulunya bahasa Sunda tidak mengenal tingkatan bahasa seperti dalam bahasa Jawa, yaitu bahasa ngoko (kasar) dan kromo (halus)
POLEMIK UNDAK-USUK BASA
Dalam banyak kesempatan, undak-usuk basa sering memicu perdebatan soal bahasa Sunda yang baik dan benar berdasar kasar-halus yang dianggap sebagai warisan feodalistik.
Sebagian orang berpendapat bahwa undak-usuk basa adalah politik bahasa yang membentuk penilaian baik-buruk dan kemurnian dalam berbahasa sehingga tidak perlu diterapkan lagi dalam berbahasa sunda.
Mereka mengatakan, “Bahasa Sunda yang sekarang mengenal undak usuk basa, atau tingkatan berbahasa, juga tata krama berbahasa, yang mengatur bagaimana cara berkomunikasi dengan orang lain berdasarkan usia, pangkat dan jabatan, atau bahkan garis keturunan, dll merupakan hasil interaksi kebudayaan yang melibatkan kekuasaan politik yakni feodalisme Mataram dan kolonialisme Belanda.
Seperti dijelaskan dalam penjelasan dan konteks kesejarahan di atas, dengan alasan hierarki atau tingkatan dalam bahasa Sunda adalah pengaruh Kerajaan Mataram yang diteguhkan oleh kolonialisme Belanda dimana undak-usuk basa dianggap sebagai Bahasa Sunda versi warisan penjajah, sehingga, sebagian cendekiawan dan sastrawan Sunda dan sebagian orang yang terobsesi dengan gagasan kemurnian berbahasa sunda, serta orang-orang yang ingin kepraktisan, mereka enggan menggunakan Undak-usuk Basa.
Sementara sebagian orang Sunda lainnya, enggan menggunakan undak-usuk basa bukan mempermasalahkan soal “kemurnian” atau mempermasalahkan bahasa sunda sebagai warisan feodal. Tapi, menganggap bahasa Sunda itu terlalu rumit, karena ada yang kasar dan ada yang halus.
Malah biasanya anak-anak lebih tertarik kepada bahasa yang “kasar” dibandingkan bahasa yang “halus”.
Sebagian lagi enggan menggunakan undak-usuk basa dan malah berinteraksi dengan Bahasa Indonesia karena takut salah saat mengucapkan, termasuk salah satu yang menjadi kekhawatiran mereka.
Justru sebenarnya mungkin penyebab takut salah ini karena memang yang
bersangkutan kurang memahami undak-usuk basa yang seharusnya.
Sementara versi yang mempertahankan undak-usuk basa mengatakan “Keun we da basa mah ngabeungharkeun ieuh. Mun ditarik kana masalah feodal atawa kakawasaan/pulitik kalahka matak miskin. Da dina kanyataana masarakat Sunda ge nyaho kana sajarah basana “.
(Tak mengapa, biarlah bahasa itu untuk memperkaya. Kalau kita hubungkan dengan masalah feodal atau kekuasaan politik, hanya akan menjadikan miskin. Pada kenyataannya masyarakat sunda juga tahu sejarah bahasanya).
PEMBATASAN UNDAK USUK BASA SUNDA
Undak-usuk basa Sunda pemakaiannya disesuaikan dengan keadaan umur, posisi lawan bicara, serta situasi yang bercerita dan yang turut diceritakannya.
Secara garis besar Undak-usuk Basa Sunda/ Tatakrama Bahasa Sunda dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
Basa Kasar
Basa Kasar digunakan untuk hewan dan digunakan oleh orang yang sedang marah. Bahasa kasar sebenarnya kurang patut diucapkan di hadapan siapapun, namun bahasa kasar ini masih sering digunakan ketika seseorang sedang marah atau beradu mulut. Akan ada kesan tidak sopan jika Anda menggunakan tingkatan bahasa ini.
Basa Loma (akrab)
Basa Loma digunakan untuk orang/teman yang sudah akrab dengan kita (loma/akrab ). Biasanya diucapkan saat berbicara kepada orang yang seumuran atau sudah karib, misalnya teman atau orang yang usianya di bawah kita.
Inilah bahasa Sunda yang umum digunakan kalangan anak muda. Takarannya sedang, tidak terlalu kasar tapi tidak terlalu halus.
Basa Hormat (Lemes)
Basa Hormat biasa digunakan untuk berbicara dengan orang yang pantas dihormat seperti kepada orang yang lebih tua, guru, sesepuh, tokoh masyarakat, pejabat, atasan.
Ketika seseorang menggunakan bahasa halus ini ketika bercakap dengan para sepuh asal sunda.
Apalagi jika ditambah dengan lentong (intonasi), pasemon (roman/ekspresi wajah), rengkuh jeung peta (sikap; gesture) yang baik, maka akan menjadi menaikkan citra diri orang tersebut. Apalagi bagi calon menantu.
Berikut ini, tabel ragam bahasa sunda, basa loma dan basa lemes (lemes untuk diri sendiri dan untuk orang lain), supaya kita bisa membedakan bahasa untuk diri sendiri dan orang lain.
Terkadang seseorang mengucapkan bahwa dirinya “saya sudah makan”, pengucapannya, “abdi mah tos tuang.” Padahal untuk diri sendiri makan dalam bahasa sunda bukanlah “tuang” tapi “neda”.
Yang sering terbalik-balik juga mengatakan “pulang” dalam bahasa sunda untuk diri sendiri dan orang lain. Untuk diri sendiri, “pulang” adalah “wangsul”, sementara untuk orang lain “pulang” adalah “mulih”. Seperti contoh : “mulih timana pak/bu?”, bukan : “wangsul ti mana pak/bu?”.
Mari kita perhatikan ragam basa di bawah ini,
Ragam Basa : Basa Loma jeung Basa Lemes | ||
---|---|---|
Basa Loma | Basa Lemes (Keur ka sorangan) | Basa Lemes (Keur ka batur) |
Abus/Asup | Lebet | Lebet |
Acan/Tacan/Encan | Teu acan | Teu acan |
Adi | Adi | Rai/Rayi |
Ajang/Keur/Pikeun | Kanggo | Haturan |
Ajar | Ajar | Wulang/Wuruk |
Aji/Ngaji | Ngajim | Ngaos |
Akang | Akang | Engkang |
Aki | Pun aki | Tuang Eyang |
Aku, ngaku | Aku, ngaku | Angken/Ngangken |
Alo | Pun alo | Kapiputra |
Alus | Sae | Sae |
Ambeh/Supaya/Sangkan | Supados | Supados |
Ambek | Ambek | Bendu |
Ambeu/Ngambeu | Ngambeu | Ngambung |
Amit/Amitan | Permios | Permios |
Anggel | Bantal | Bantal/Kajang mastaka |
Anggeus/Enggeus | Rengse | Parantos |
Anjang/Nganjang | Ngadeuheus | Natamu |
Anteur/Nganteur | Jajap/Ngajajapkeun | Nyarengan |
Anti/Dago/Ngadagoan | Ngantosan | Ngantosan |
Arek | Bade/Seja | Bade/Seja |
Ari | Dupi | Dupi |
Asa/Rarasaan | Raraosan | Raraosan |
Asal | Kawit | Kawit |
Aso/Ngaso | Ngaso | Leleson |
Atawa | Atanapi | Atanapi |
Atoh/Bungah | Bingah | Bingah |
Awak | Awak | Salira |
Awewe | Awewe | Istri |
Babari/Gampang | Gampil | Gampil |
Baca | Aos | Aos |
Badami | Badanten | Badanten |
Bae/Keun bae | Sawios/Teu sawios | Sawios/Teu sawios |
Bagea | Bagea | Haturan |
Baheula | Kapungkur | Kapungkur |
Baju | Baju | Raksukan/Anggoan |
Bakti | Baktos | Baktos |
Balik/Mulang | Wangsul | Mulih |
Balur | Balur | Lulur |
Bangga | Sesah | Sesah |
Bapa | Pun Bapa | Tuang Rama |
Bareng/Reujeung | Sareng | Sareng |
Bareto | Kapungkur | Kapungkur |
Batuk | Batuk | Gohgoy |
Batur | Babaturan | Rerencangan |
Bawa | Bantun | Candak |
Beak | Seep | Seep |
Beda | Benten | Benten |
Beja | Wawartos | Wawartos |
Bener/Enya | Leres | Leres |
Bengek/Mengi | Asma | Ampeg |
Bere/Mere | Maparin/Masihan | Ngahaturaan/Ngaleler |
Berekah | Pangesto/Pangestu | Damang/Wilujeng |
Beuki | Seneng | Sedep |
Beulah | Palih | Palih |
Beuli/Meuli | Meser | Ngagaleuh |
Beunang | Kenging | Kenging |
Beungeut | Beungeut | Pameunteu/Raray |
Beurang | Siang | Siang |
Beurat | Abot | Abot |
Beuteung | Padaharan | Patuangan/Lambut |
Bibi | Pun bibi | Tuang bibi |
Bikeun/Mikeun | Maparinkeun | Ngahaturkeun/Nyanggakeun |
Bilang/Milang | Ngetang | Ngetang |
Birit/Bujur | Birit/Bujur | Imbit |
Bisa | Tiasa | Tiasa |
Bisi | Bilih | Bilih |
Biwir | Biwir | Lambey |
Boa | Tiasa jadi | Tiasa jadi |
Boga | Gaduh | Kagungan |
Buang/Ngising | Miceun | Kabeuratan |
Budak | Budak | Murangkalih |
Bujal | Bujal/Puser | Udel |
Buka puasa | Buka | Bobor |
Bukti | Buktos | Buktos |
Bulan | Sasih | Sasih |
Bungah/Gumbira | Bingah | Bingah |
Burit | Sonten | Sonten |
Buru | Bujeng | Bujeng |
Butuh | Perlu | Peryogi |
Cabak/Nyabak | Nyabak | Cepeng |
Cageur | Pangesto/Pangestu | Damang |
Calana | Calana | Lancingan |
Cangkeng | Cangkeng | Angkeng |
Caram/Carek/Nyarek | Nyarek | Ngawagel |
Carang/Langka | Awis | Awis |
Carekan/Nyarekan | Nyarekan | Nyeuseulan |
Carita/Nyarita/Ngomong | Nyanggem | Nyarios |
Cenah | Cenah | Saurna |
Cekel/Nyekel | Nyekel | Nyepeng |
Celuk/Nyeluk/Gero/Ngageroan | Nyauran | Ngagentraan |
Ceuli | Ceuli | Cepil |
Ceurik | Ceurik | Nangis |
Cicing | Matuh | Calik/Linggih |
Ciduh | Ciduh | Ludah |
Cik/Cing | Cobi | Cobi |
Cikal | Cikal | Putra pangageungna |
Ciling/Pacilingan | Kakus | Jamban |
Ciri | Tanda | Tawis |
Cium/Nyieum | Nyieum | Ngambung |
Cokot/Nyokot | Ngabantun | Nyandak |
Cukup/Mahi | Cekap | Cekap |
Cukur/Dicukur | Dicukur | Diparas |
Cunduk/Datang | Dongkap | Sumping/Rawuh |
Daek | Daek/Purun | Kersa |
Dagang | Dagang | Icalan |
Dahar | Neda | Tuang |
Dangdan | Dangdan | Dangdos |
Dapur | Dapur | Pawon |
Denge/Ngadenge | Nguping/Mireng | Ngadangu |
Deukeut | Caket | Caket |
Didik/Ngadidik | Ngatik | Miwuruk/Mitutur/Miwejang |
Diri | Diri | Salira |
Diuk | Diuk | Calik/Linggih |
Duga/Kaduga | Kaduga | Kiat |
Duit | Artos | Artos |
Dumeh/Lantaran | Jalaran | Kumargi |
Eling/Inget | Emut | Emut |
Emboh/Tambah | Tambih | Tambih |
Era | Isin | Lingsem |
Embung | Alim | Teu kersa |
Enggon | Pamondokan | Pangkuleman |
Eukeur/Keur | Nuju | Nuju |
Eusi/Ngeusian | Ngalebetan | Ngalebetan |
Euweuh | Teu aya | Teu aya |
Gancang | Enggal | Enggal |
Ganti | Ganti | Gentos |
Gardeng/Reregan | Gardeng | Lalangse |
Gawe | Gawe | Damel |
Gede | Gede | Ageung |
Gelung | Gelung | Sanggul |
Genah/Ngeunah | Raos | Raos |
Gering | Udur | Teu damang |
Getol | Getol | Kersaan |
Geulang | Geulang | Pinggel |
Geura/Pek/Heg | Geura/Mangga | Mangga |
Geuwat | Enggal | Enggal |
Gigir/Gigireun | Gigireun | Gedengeun |
Gimir | Gimir | Rentag manah |
Gogoda/Cocoba | Cocoba | Cocobi |
Goreng | Goreng | Awon |
Gugu/Ngagugu | Nurut | Tumut |
Haben | Haben | Teras-terasan |
Hadir/Ngahadiran | Nungkulan | Ngaluuhan |
Hal/Perkara | Perkawis | Perkawis |
Halis | Halis | Kening |
Hampura/Maap | Hapunten | Hapunten/Haksama |
Hareup | Payun | Payun |
Harga | Harga | Pangaos |
Harti | Hartos | Hartos |
Hate | Hate | Manah |
Hawatir/Watir/Karunya | Watir | Hawatos |
Hayang | Hoyong | Palay |
Helok | Heran | Hemeng |
Hese/Susah/Pelik | Sesah | Sesah |
Heuay | Heuay | Angob |
Heubeul/Lawas | Heubeul | Lami |
Heug/Seug | Mangga | Mangga |
Hili/Tukeur | Liron | Gentos |
Hirup | Hirup | Jumeneng |
Hudang | Hudang | Gugah |
Huntu | Huntu | Waos |
Hutang | Hutang | Sambetan |
Iber/Beja/Warta | Wartos | Wartos |
Idin | Widi | Widi |
Igel | Igel | Ibing |
Iket | Totopong | Udeng |
Ilik/Ngilikan | Ningalan | Ningalan |
Ilu/Ngilu | Ngiring | Ngiring |
Imah | Rorompok | Bumi |
Impi/Ngimpi | Impen/Ngimpen | Impen/Ngimpen |
Imut | Imut | Mesem |
Incu | Pun incu | Tuang putu |
Indit/Miang | Mios | Angkat/Jengkar |
Indung | Pun biang | Tuang ibu |
Inggis/Risi | Inggis/Risi | Rempan |
Injeum/Nginjeum | Nambut | Nambut |
Inum/Nginum | Leueut/Ngaleueut | Leueut/Ngaleueut |
Irung | Irung | Pangambung |
Isuk/Isukan | Enjing | Enjing |
Itung | Itung | Etang |
Iwal/Kajaba | Kajaba | Kajabi |
Jaga | Jaga | Jagi |
Jalma/Jelema | Jalmi | Jalmi |
Jauh | Tebih | Tebih |
Jawab | Walon | Waler |
Jero | Lebet | Lebet |
Jeung | Sareng | Sareng |
Jiga | Jiga | Sapertos/Sakarupi |
Jual | Ical | Ical |
Jugjug | Bujeng | Bujeng |
Juru/Ngajuru | Ngalahirkeun | Babar |
Kabeh/Kabehanana | Sadayana | Sadayana |
Kabur/Minggat | Minggat | Lolos |
Kacida/Naker | Kalintang | Kalintang/Teu kinten |
Kajeun/Keun bae | Sawios | Sawios |
Kakara/Karek | Nembe | Nembe |
Karembong | Kekemben | Kekemben |
Kari/Tinggal | Kantun | Kantun |
Kasakit/Nyeri | Kasakit/Kanyeri | Kasawat |
Katara/Kaciri | Katawis | Katawis |
Kapalang/Kagok | Kapambeng | Kapambeng |
Kawas | Sapertos | Sapertos |
Kawin | Nikah/Jatukrami | Jatukrami/Rendengan |
Kede | Kenca | Kiwa |
Kejo/Sangu | Sangu | Sangu |
Kelek | Kelek | Ingkab |
Kesang | Karinget | Karinget |
Keur/Pikeun | Kanggo | Kanggo/Haturan |
Kiih | Kahampangan | Kahampangan |
Kolot | Kolot | Sepuh |
Kongkorong | Kangkalung | Kangkalung |
Kop/Pek | Mangga | Mangga |
Kuat | Kiat | Kiat |
Kudu | Kedah | Kedah |
Kumbah | Kumbah | Wasuh |
Kumis | Kumis | Rumbah |
Kumpul | Kempel | Kempel |
Kungsi | Kantos | Kantos |
Kurang | Kirang | Kirang |
Kuring/Simkuring | Abdi/Sim abdi | Sim abdi |
Labuh | Labuh | Geubis |
Lahun/Ngalahun | Ngalahun | Mangkon |
Lain | Sanes | Sanes |
Laju | Lajeng | Lajeng |
Lalaki | Lalaki | Pameget |
Laku/Payu/Laris | Pajeng | Pajeng |
Lalajo | Nongton | Nongton |
Lamun/Upama | Upami | Upami |
Lanceuk | Pun lanceuk | Tuang raka |
Lantaran/Sabab | Jalaran/Sabab | Margi |
Leho | Leho | Umbel |
Letah | Letah | Ilat |
Leungeun | Leungeun | Panangan |
Leungit | Leunit | Ical |
Leutik | Alit | Alit |
Leuwih | Langkung | Langkung |
Lila | Lami | Lami |
Mahal | Awis | Awis |
Maksud | Maksad | Maksad |
Malarat/Miskin | Jalmi teu gaduh | Teu kagungan nanaon |
Malem | Wengi | Wengi |
Malik | Malik | Mayun |
Mamayu | Mamayu | Mamajeng |
Mangka/Sing/Muga | Mugi | Mugi |
Maot | Maot | Pupus/Ngantunkeun/Tilar dunya |
Marhum | Marhum/Jenatna | Marhum/Suargi |
Memeh/Samemehna | Sateuacanna | Sateuacanna |
Mending/Leuwih hade | Langkung sae | Langkung sae |
Meujeuhna | Meujeuhna | Cekap |
Meueun | Panginten | Panginten |
Mimimti/Mimitina | Kawitna | Kawitna |
Minangka | Etang-etang | Etang-etang |
Mindeng/Remen | Sering | Sering |
Minyak | Lisah | Lisah |
Muga | Mugi | Mugia |
Mupakat/Rempug | Mupakat/Rempug | Rempug |
Murah | Mirah | Mirah |
Najan/Sanajan | Sanaos | Sanaos |
Ngan | Mung | Mung |
Ngaran | Wasta/Nami | Jenengan/Kakasih |
Ngeunah | Ngeunah | Raos |
Ngora | Ngora | Anom |
Nini | Pun nini | Tuang eyang |
Nyaho | Terang | Uninga |
Nyaring | Nyaring | Teu acan kulem |
Nyolowedor | Nyolowedor | Midua hate |
Obat/Ubar | Obat/Ubar | Landong |
Ogan/Ondang | Ondang | Ulem |
Ome/Ngomean/Menerkeun | Ngalereskeun | Ngalereskeun |
Paham | Paham,ngartso | Ngartos |
Paju/Maju | Majeng | Majeng |
Pake/Make | Nganggo | Nganggo |
Palangsiang/Bisa jadi | Tiasa jadi | Tiasa jadi |
Palire/Malire | Malire | Merhatoskeun |
Pamajikan | Pun bojo | Tuang rayi |
Pancuran/Kamar mandi | Jamban | Jamban |
Pandeuri | Ti pengker | Ti pengker |
Pang/Pangna/Nu matak | Nu mawi | Nu mawi |
Panggih/Manggih/Nimu | Mendak | Mendak |
Pangkat/Kadudukan | Kadudukan | Kalungguhan |
Pangku/Mangku | Mangku | Mangkon |
Panon | Panon | Soca |
Pantar/Sapantar | Sapantar | Sayuswa |
Paribasa | Paripaos | Paripaos |
Pariksa/Mariksa | Mariksa | Marios |
Parna | Repot | Wales |
Paro/Saparo | Sapalih | Sapalih |
Pasti/Tangtu | Tangtos | Tangtos |
Pati/Teu pati | Teu patos | Teu patos |
Patuh/Matuh | Matuh | Linggih |
Payung | Payung | Pajeng |
Pedah | Kumargi/Jalaran | Rehing |
Penta/Menta | Neda/Nyuhunkeun | Mundut |
Pecak/Mecak/Nyoba | Nyobi | Nyobi |
Pencet/Mencetan | Meuseulan | Meuseulan |
Percaya | Percanten | Percanten |
Perlu | Perlu | Peryogi |
Permisi | Permios | Permios |
Peuting | Wengi | Wengi |
Pihape/Mihape | Wiat | Ngaweweratan |
Piker | Piker | Manah |
Piligenti | Piligentos | Piligentos |
Pindah | Pindah | Ngalih |
Pingping | Pingping | Paha |
Pipi | Pipi | Damis |
Poe | Dinten | Dinten |
Poho | Hilap | Lali |
Popotongan | Patilasan | Patilasan |
Puasa | Puasa | Saum |
Puguh/Tangtu | Tangtos | Tangtos/Kantenan |
Purun | Purun | Kersa |
Rarabi | Rarabi | Garwaan |
Raksa/Pangraksa | Pangraksa | Panangtayungan |
Ramo | Ramo | Rema |
Rampes | Mangga | Mangga |
Rasa/Rumasa | Rumaos | Rumaos |
Rea/Loba | Seueur | Seueur |
Receh | Receh | Artos alit |
Reujeung | Bareng | Sareng |
Reuneuh | Kakandungan | Bobot/Ngandeg |
Reureuh | Reureuh | Ngaso |
Rieut | Rieut | Puyeng |
Ripuh | Ripuh | Repot |
Robah | Robah | Robih |
Roko/Ududeun | Rokok | Sesepeun |
Rua/Sarua | Sarupi/Sami | Sarupi/Sami |
Rusuh/Rurusuhan | Enggal-enggalan | Enggal-enggalan |
Saba/Nyaba | Nyanyabaan | Angkat-angkatan |
Sabot | Keur waktu | Waktos |
Sabuk/Beubeur | Beubeur | Beulitan |
Sadia | Sayagi | Sayagi |
Sakeudeung | Sakedap | Sakedap |
Salah | Lepat | Lepat |
Salahsaurang | Salahsawios | Salahsawios |
Salaki | Pun lanceuk | Caroge/Tuang raka |
Salamet | Salamet | Wilujeng |
Salat/Solat | Sambeang | Netepan |
Salesma | Salesma | Pileg |
Salempang/Hariwang | Salempang | Salempang/Rajeg manah |
Salin/Disalin | Disalin | Gentos |
Samak | Amparan | Amparan |
Sampak/Nyampak | Nyampak | Nyondong/Kasondong |
Samping | Sinjang | Sinjang |
Sanding/Kasanding | Kasanding | Kasumpingan |
Sanggeus | Saparantos | Saparantos |
Sanggup | Sanggem | Sanggem |
Sare | Mondok | Kulem |
Sarerea | Sadayana | Sadayana |
Sarta/Jeungna deui | Sareng | Sareng |
Sarua | Sami | Sami |
Sasarap | Sasarap/Neda | Tuang |
Sawah | Sawah | Serang |
Sejen | Sejen | Sanes |
Seleh/Nyelehkeun | Masrahkeun | Nyanggakeun/Ngahaturkeun |
Selewer/Nyelewer | Midua hate | Midua manah |
Semah | Tamu | Tamu |
Sesa/Kari | Kantun | Kantun |
Sebut | Sebat | Sebat |
Serah/Nyerahkeun | Mirak | Mirak/Ngeser |
Seubeuh | Sesek | Wareg |
Seuri | Seuri | Gumujeng |
Siar/Nyiar | Milari | Milari |
Sibanyo | Sibanyo | Wawasuh |
Sirah | Sirah | Mastaka |
Sirit | Larangan | Larangan |
Sisir | Pameres | Pameres |
Soara, sora | Sora | Soanten |
Sorangan | Sorangan | Nyalira |
Sore | Sonten | Sonten |
Sugan/Manawi | Manawi | Manawi |
Suku | Suku | Sampean |
Sunat/Nyunatan | Ngabersihan | Nyepitan |
Sungut | Cangkem | Baham |
Supaya | Supados | Supados |
Surat | Serat | Serat/Tetesan |
Suweng | Suweng | Kurabu/Gwang |
Tabeat | Adat | Panganggo |
Tadina | Kawitna | Kawitna |
Tai | Kokotor | Kokotor |
Taksir/Ngira | Nginten-nginten | Nginten-nginten |
Taktak | Taktak | Taraju |
Talatah | Wiat saur | Wiat saur |
Tambah | Tambih | Wuwuh |
Tampa | Tampi | Tampi |
Tanda/Ciri | Tawis | Tawis |
Tangen/Katangen | Kanyahoan | Kauninga |
Tangtung/Nangtung | Nangtung | Ngadeg |
Tanya | Taros | Pariksa |
Tapi | Nanging | Nanging |
Tarang | Tarang | Taar |
Tarima | Tampi | Tampi |
Tawar/Nawar | Nawis | Mundut |
Tayoh-tayohna | Rupina | Rupina |
Teang/Neangan | Milari | Milari |
Tenjo/Nenjo/Nempo | Ningal | Ningali |
Tepi | Dugi | Dugi |
Tere | Tere | Kawalon |
Tereh | Enggal | Enggal |
Teleg/Teureuy | Teleg | Telen |
Tembang/Nembang | Nembang | Mamaos |
Tepi/Nepi | Dugi | Dugi |
Tepung | Tepang | Tepang |
Terus | Teras | Teras |
Teundeun | Simpen | Simpen |
Tincak | Tincak | Dampal |
Titah/Nitah/Jurung | Ngajurungan | Miwarangan |
Tonggong | Tonggong | Pungkur |
Topi/Dudukuy | Topi/Dudukuy | Tudung/Langgukan |
Tulis | Tulis | Serat |
Tulung/Pitulung | Pitulung | Pitandang |
Tulus | Cios | Cios |
Tuluy | Teras/Lajeng | Teras/Lajeng |
Tumpak | Tumpak | Tunggang |
Tunggu | Antos | Antos |
Turun | Turun | Lungsur |
Ucap | Ucap | Kedal/Lisan |
Ulah | Teu kenging | Teu kenging |
Ulin | Ulin | Ameng |
Umur | Umur | Yuswa |
Urus/Nguruskeun | Ngalereskeun | Ngalereskeun |
Urut | Tilas | Tilas |
Utama | Utami | Utami |
Waktu | Waktos | Waktos |
Wani | Wantun | Wantun |
Waras | Cageur | Damang |
Wareh/Sawareh | Sapalih | Sapalih |
Warga/Dulur | Wargi | Wargi |
Watara/Sawatara | Sawatawis | Sawatawis |
Wawuh | Wanoh/Kenal | Kenal |
Wedak | Pupur | Pupur |
Wedal | Wedal | Weton |
Wilang/Kawilang | Kaetang | Kaetang |
Wudu | Wulu/Wudu | Abdas |
Sebagai contoh penerapan dalam kalimat, seperti contoh berikut ini:
Bahasa Indonesia: “Perkenalkan, nama saya Asep, asal dari Ujungberung, datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Kamu/Anda siapa?”
Bahasa Sunda kasar: “Ngaran aing Asep, asal ti Ujungberung, ka Jakarta rek nyiar ubar lapar. Ari sia saha?”
Bahasa Sunda loma/akrab: “Nepangkeun nami abdi Asep, asal ti Ujungberung, ka Jakarta rek neangan pagawean. Ari maneh saha?”
Bahasa Sunda halus/lemes: “Nepangkeun wasta abdi Asep, sim kuring nu ti Ujung Berung, ka Jakarta bade milari padamelan. Dupi salira teh, saha?”
Contoh lain penerapan Undak Usuk Basa Sunda seperti berikut ini :
“Rorompok abdi mah nu ieu, nu itu mah bumi Pa Yana”. (Rumah saya yang ini, yang itu rumah Pak Iwan.)
rorompok dan bumi artinya rumah. “rorompok” digunakan untuk diri sendiri, sementara bumi digunakan untuk orang lain.
NB: Rorompok = basa lemes keur kasorangan (basa halus digunakan untuk diri sendiri)
Bumi = basa lemes keur kabatur (basa halus digunakan untuk orang lain)
Bila digali lagi, undak usuk basa Sunda umumnya dibangun enam tahap, yakni ” Basa kasar, Basa sedeng, Basa lemes pisan, Basa kasar pisan, jeung Basa panengahan “.
a. Basa Kasar
Basa kasar disebut juga basa loma. Digunakeun kepada sesama, kepada teman yang sudah akrab. Selain itu (dahulu) dipakai juga untuk berbicara /menceritakan orang yang kedudukan/posisinya lebih rendah, baik pangkatnya, umurnya.
b. Basa Sedeng
Basa sedang disebut juga basa lemes keur sorangan, yakni bahasa yang diterapkan kepada diri sendiribila bercerita dengan bahasa lemes, atau untuk menceritakan sesama kepada orang yang lebih tua. Juga dipakai berbicara dengan orang yang belum kenal/akrabbila yang mengajak bicara menggunakan basa lemes.
c. Basa Lemes
Basa lemes biasa disebut juga basa lemes keur ka batur/untuk orang lain. Diterapkan untuk berbicara kepada yang lebih tinggi baik pangkatnya, kedudukannya, umurnya. Basa lemes juga dipakai kepada orang yang belum kenal/akrab.
d. Basa Lemes Pisan
Dipakai untuk mengahormati orang yang pangkat dan posisinya dipandang tinggi sekali.
e. Basa Kasar Pisan
Basa kasar pisan disebut juga basa cohag / garihal. Sering dipakai oleh orang yang sedang marah atau bertengkar, dengan maksud menghina. Namun umumnya basa kasar pisan diterapkan kepada binatang / sato.
f. Basa Panengah
Basa panengah dipakai untuk berbicara dengan orang yang lebih bawah baik pangkat dan posisinya, tapi umurnya sebenarnya lebih tua.
Dipakai juga untuk menceritakan orang lain bilamana yang diajak berbicara menggunakeun basa lemes, serta yang diceritakannya lebih rendah pangkat dan posisinya, tapi umurnya lebih tua dibandingkan dengan yang berbicara dan yang diajak bicaranya.
Basa panengah posisinya ada di bawah basa lemes tapi di atas/ lebih tinggi daripada basa kasar.
Penjelasan di atas, polanya adalah seperti ini :
I. RAGAM BASA HORMAT (BASA LEMES), terdiri dari :
1. Ragam Basa Lemes Pisan (paling tinggi/luhur tingkatannya)
2. Ragam Basa Lemes untuk orang lain.
3. Ragam Basa Lemes untuk pribadi (tingkatan sedang)
4. Ragam Basa Lemes Kagok (Penengah )
5. Ragam Basa Lemes Kampung (dusun )
6. Ragam Basa Lemes Budak (anak-anak)
II. RAGAM BASA LOMA (AKRAB, KASAR)
7. Ragam Basa Loma ( akrab, asar, netral )
8. Ragam Basa Garihal ( kasar sekali, songong )
Pada kenyataannya, sedikit sekali kata-kata yang mengandung delapan tingkat (ragam) tersebut. Yang perlu dihafalkan adalah tingkat no 2, 3 dan 7.
TINGKATAN UNDAK USUK BASA SUNDA
Menilik dari bahasa kasar, bahasa sedang dan bahasa halusnya, undak usuk basa Sunda bisa dibagi menjadi tiga tingkatan.
1. Undak usuk basa Sunda tingkat pertama
Undak usuk basa Sunda tingkat pertama yakni yang basa kasar, basa sedeng, dan basa lemesnya tidak sama.
Contoh:
Balik (kasar) – Wangsul (sedang) – Mulih (lemes) – Mantog (panengah-kasar) – Mulang (panengah)
a. “Mun maranéh rék balik ayeuna, bareng wé, da kuring gé rék balik ayeuna,” ceuk Dudung ka babaturanana.
b. “Abdi mah badé ayeuna wangsul téh, Sanggemna mah Titi ogé badé wangsul ayeuna,” ceuk Dini ka Bu Ratna.
c. “Mulih ti mana Ibu?” Pa Rijal nanya ka Bu Ratna.
“Wangsul ti ITC ,” tembal Bu Ratna.
d. “Lain geura mantog sakieu geus burit, geura ngaji ka dituh!”
Nining ambek ka adina nu keur ulin.
e. “Ari Emang rek iraha mulang téh?” ceuk Pa Kapala Sakola ka Mang Endin, penjaga sakola nu umurna saluhureun.
2. Undak usuk basa Sunda tingkat kedua
Undak usuk basa Sunda tingkat kedua yakni yang basa kasarna berbeda, tapi basa sedeng dan basa lemesna sama.
Contoh:
Halangan (kasar) – Pambengan (sedang) – Pambengan (lemes)
a. “Mun taya halangan, engké soré kuring rék ka imah manéhna,” ceuk Wildan ka Angga.
b. “Upami teu aya pamengan, engké sontén abdi badé ka bumi Bapa, ceuk Ilham ka Pa Asep.
c. “Upami teu aya pamengan, saurna engké sontén Pa Kapala Sakola badé ka bumi Pa Maman,” ceuk Pa Rijal ka Bu Ratna.
3. Undak usuk basa Sunda tingkat ketiga
Undak usuk basa Sunda tingkat ketiga yakni yang bahasa kasar dan bahasa sedengnya sama, tapi bahasa lemesna berbeda.
Ada beberapa kata yang berhubungan dengan hubungan keluarga/ pancakaki, seperti kata : adi, alo, anak, lanceuk, dan aki; sering menggunakeun kata “pun” bila dirubah menjadi basa sedeng; menjadi ” pun adi, pun alo, pun anak, pun lanceuk, jeung pun aki”.
Maksudnya “adi abdi, alo abdi, anak abdi”, dst. Adapun untuk basa lemesnya, dipakai kata “tuang”; yakni “tuang rai, tuang putra, tuang rai, tuang putra, tuang raka”, dst. Maksudna “rai anjeun (Bapak/Ibu/Saderek), putra anjeun, raka anjeun”, dst
Contoh:
Adi (Kasar) – Adi (Sedang) – Rai ( Lemes)
a. “Adi kuring mah ayeuna téh kelas lima, sarua jeung adina Rina,” ceuk Dudi ka Dadan, “Ari adi manéh kelas sabaraha, Dan?”
b. “Pun adi ayeuna téh kelas lima sami sareng adina Rina, “ceuk Dudi ka Pa Asép.
c. “Dupi tuang rai kelas sabaraha ayeuna téh?” ceuk Pa Rijal ka Bu Ratna.
Cara Belajar Menggunakan Tatakrama Bahasa Sunda :
Sering memperhatikan orang lain yang bahasanya baik dan halus.
Sering membaca buku yang baik susunan bahasanya.
Ada sikap kritis saat membaca atau saat memperhatikan orang lain.
Membiasakan bercerita menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Biasakan menyusun kalimat berbahasa yang baik dan benar sesuai tingkatan.
Mempraktekkan dan mengajarkan berbicara yang baik dan benar kepada putra-putrinya dan orang sekitarnya.
Yang perlu diperhatikan juga bahwa, menggunakan Undak-usuk Basa Sunda / Tatakrama Bahasa Sunda tidak bisa terlepas dari unsur pendukung yang erat kaitannya, yakni :
– Lentongna nyarita (Gaya berbicara, intonasi)
– Pasemon (raut muka)
– Rengkuh (gerak tubuh, body language)
– Tata busana.
– Itikad ( nurani)
Sejatinya, yang menjadi dasar utama dalam tatakrama bahasa yakni itikad atau kebeningan hati yang berbicara. Kaluhuran budi dan rasa kemanusiaannya. Hal ini sebenarnya di luar aspek bahasa.
Bahasa adalah Karunia Alloh SWT.
Kekayaan bahasa adalah karunia Ilahi, sebagai tanda keagungan-Nya, sehingga kita perlu mengenali dan memahami adat kebiasaan di suatu tempat atau lingkungan sebagai alat bergaul, bersaudara, shilaturahim dan saling menghormati, unggah-ungguh dan bersopan-santun .
Tatakrama erat kaitannya dengan adat
kabiasaan. Sehingga dalam menggunakannya tentu harus memperhatikan adat kebiasaan di daerahnya masing-masing.
Benar adanya, pada dasarnya bahasa, tidaklah hitam-putih, tergantung yang menggunakannya. Dan betul bahwa sebuah kata harus dilihat pula konteks tulisannya maupun situasi percakapannya.
Kalau menurut yang menggunakannya tidak kasar, ya berarti tidak kasar. Seperti kata ‘aing’ di kalangan masyarakat suku sunda baduy dan wilayah luar Priangan dalam komunikasi sehari-hari tidak dianggap kasar, berarti memang begitu keadaan bahasanya.
Suku Baduy yang juga menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari, tidak mengenal undak usuk basa. Suku Baduy cenderung menggunakan basa garihal /kasar tanpa memandang siapa lawan bicaranya, namun ini bukan karena mereka tidak menghormati lawan bicaranya tersebut, melainkan karena Suku Baduy menunjukkan rasa hormat pada seseorang bukan dengan bahasa tapi dengan perilaku.
Namun, untuk kalangan masyarakat terutama untuk di lingkungan yang “terpelajar” (mahasiswa, terhormat), kemampuan berbahasa Sunda yang menggunakan Undak-usuk basa / Tatakrama sangatlah penting.
Bilamana Anda ingin berbicara dengan bahasa sunda baheula bagus-bagus saja. Hanya saja Anda harus bisa merubah paradigma berpikir jutaan orang Sunda.
Bukankah peribahasa sunda mengatakan: ” Hade ku omong goreng ku omong (seseorang dinilai baik dari ucapannya). Basa mah henteu meuli (Bahasa itu tidak usah membeli) “.
Seperti disebutkan di awal artikel ini, undak-usuk basa bertujuan untuk saling menghormati dan memilih kata yang tepat kepada seseorang. Bayangkan anda berbicara kepada calon mertua, ” Ari maneh geus dahar ?”. Waduh, dijamin anda dinilain bukan sebagai menantu idaman.
Sebagai penutup, perlu kita buka resapi, bahasa tidak pernah bebas dari pengaruh (kebudayaan) asing.
Bahasa yang sanggup bertahan, selalu terbuka pada khasanah yang berasal dari berbagai tempat. Bahasa yang murni, pada dasarnya, adalah bahasa yang sudah tidak berkembang lagi. Bahasa yang telah menjadi fosil. Dan membatu.
Sebagai bangsa yang berbudi pekerti luhur, tentu kalaupun orang sunda mengadopsi tatakrama Jawa, menurut hemat penulis sih tidak masalah, sesuatu yang baik, kenapa tidak untuk diadopsi.
Malah menambah kekayaan bahasa sunda dan kita bisa memilih kata yang tepat untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua semestinya dihormati, apalagi saat kita berdoa dimana kira harus merendahkan diri kita dihadapan Alloh SWT Sang Khaliq.
Semoga dengan tulisan/artikel Undak-usuk/ Tatakrama Basa Sunda (basa loma/bahasa umum dan basa lemes/ bahasa halus) pada blog ini, diharapkan para pembaca bisa mengenal tatakrama dalam percakapan sehari-hari/ paguneman urang sunda dan bagi yang sedang belajar bahasa sunda menjadi tambahan wawasan.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa sedikit menjadi sumbangsih dalam memelihara dan memajukan kesundaan.
Dari berbagai sumber.
Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri Dari meja redaksi, untuk seluruh umat muslim perkenankan kami… Read More
Banyak yang mencari arti ucapan lebaran idul fitri minal aidzin wal faidzin apakah artinya maaf… Read More
Pesantren Modern di Bandung Di Bandung selain terkenal sebagai Paris Van Java juga terkenal dunia… Read More
Rasa Jeung Bau Rupa-rupa Aambeuan jeung Rarasaan (mcam-macam bau-bauan dan rasa) ieu teh mangrupa kabeungharan… Read More
Ngabuburit adalah Bahasa Sunda yang dipakai untuk pengganti kata menunggu waktu berbuka puasa datang. Kata… Read More
Inilah beberapa wasiat pepeling (pengingat) dari para sesepuh urang Sunda (wasiat pengingat dari para leluhur/karuhun… Read More
View Comments
sae kang
Hatur nuhun kang Safrudin
Hatur nuhun engkang
sami2
Hatur nuhun kang, eusi na sae pisan kanggo di ajar tatar sunda
Sami-sami hatur nuhun pisan parantos ngantunkeun jejak kunjungan berupa komentar
di Tatar Sunda masyarakat baduy dibanding priangan lebih egaliter, tidak terlalu kentara hierarkisnya, dan corak produksinya pun dikelola secara kolektivisme tidak menghendaki adanya pekerja/bawahan/buruh tani. Sehingga tidak perlu ada strata bahasa untuk memperkokoh kekuasaan/posisi.
Hatur nuhun kang ingpona....