Ujub VS Tawadlu

By | 18 April 2016

Dalam artikel sebelumnya tentang tingkat-tingkat penyesatan yang dilakukan oleh iblis, pada tingkat ke enam, iblis menggoda orang-orang yang ahli ibadah (ahli shalat sunnah, ahli puasa, ahli membaca Al-Quran, ahli shodaqoh, dsb), orang yang ahli ber-amal sholih, orang yang ahli ilmu, orang yang hafal Al-Quran, dengan penyakit hati yang disebut ujub (berbangga diri/ merasa pol sendiri/ merasa lebih baik daripada orang lain) sehingga akhirnya meremehkan atau merendahkan orang lain.

Ia merasa ilmunya telah menyamai gurunya, ia merasa ibadahnya lebih khusuk daripada orang lain, ia merasa amalannya lebih banyak daripada orang lain, ia merasa lebih suci daripada orang lain, ia merasa telah banyak shodaqoh, ia merasa lebih ahli ibadah, ia merasa lebih terhormat kedudukannya daripada orang lain, ia merasa ceramahnya/nasehatnya lebih baik daripada orang lain, dsb.

Waspadalah….waspadalah….waspadalah….ujub merusak amalan kita!

Dan, orang-orang yang rawan penyakit hati- ujub ini bukanlah orang sembarangan, tapi orang-orang yang rajin ibadah dan ilmu agamanya banyak (para alim ulama), karena mereka lah target iblis dan bala tentaranya/ pengikutnya agar terjerumus dalam rasa ujub.

Rasa ujub pada dasarnya adalah sebuah kesombongan dalam hati dan manusia tidaklah pantas melakukan kesombongan karena tidak akan masuk surga yang di dalam hatinya ada sebiji sawi kesombongan.

Kebalikan dari rasa “ujub” adalah rasa “tawadlu” (berendah diri) yakni sifat yang selalu merasa ibadahnya kurang/ tidak sempurna, amalannya tidak ada apa-apanya, ilmunya tidak seberapa, dan selalu menyandarkan bahwa ini pemberian Alloh yang wajib disyukuri dan bukan untuk dibanggakan.

Baca juga artikel ini :

” Ketika Ujub Menyelimuti Hati”, nasihat dan perkataan Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah (7 Rajab 691 H – 13 Rajab 751 H), yang salinannya adalah sebagai berikut :

“Jika Allah mudahkan bagimu mengerjakan sholat malam, maka janganlah memandang rendah orang-orang yang tidur.”

“Jika Allah mudahkan bagimu melaksanakan puasa, maka janganlah memandang orang-orang yang tidak bepuasa dengan tatapan menghinakan.”

“Jika Allah memudahkan bagimu pintu untuk berjihad, maka janganlah memandang orang-orang yang tidak berjihad dengan pandangan meremehkan.”

“Jika Allah mudahkan pintu rezeki bagimu, maka janganlah memandang orang-orang yang berhutang dan kurang rezekinya dengan pandangan yang mengejek dan mencela. Karena itu adalah titipan Allah yang kelak akan dipertanggungjawabkan.”

“Jika Allah mudahkan pemahaman agama bagimu, janganlah meremehkan orang lain yang belum faham agama dengan pandangan hina.”

“Jika Allah mudahkan ilmu bagimu, janganlah sombong dan bangga diri karenanya. Sebab Allah lah yang memberimu pemahaman itu.”

“Dan boleh jadi orang yang tidak mengerjakan qiyamul lail, puasa (sunnah), tidak berjihad, dan semisalnya lebih dekat kapada Allah darimu.”

“Sungguh engkau terlelap tidur semalaman dan pagi harinya menyesal… lebih baik bagimu daripada qiyamul lail semalaman namun pagi harinya engkau “merasa” TAKJUB dan BANGGA” dengan amalmu.

Sebab tidak layak orang merasa bangga dengan amalnya, karena sesungguhnya ia tidak tahu amal yang mana yang Allah akan terima?

Isi hati hanya Alloh SWT yang tahu, malaikat pun tidak tahu isi hati kita apakah sebuah ibadah dilakukan dengan karena-Alloh tanpa rasa ujub ataukah tidak?

Betapa sebuah perjuangan agar kita bisa menjaga hati kita untuk menolak bisikan iblis/syetan dengan hembusan rasa ujub ke dalam hati kita.

Bagaimanakah Upaya Kita agar Hati kita terhindar dari rasa ujub?

1. Bila ada perasaan merasa lebih baik, lebih rajin, lebih pintar dalam ilmu agama,dsb harus kita tolak dengan segenap usaha kita sambil berkata dengan tegas dalam hati bahwa amalan kita, ilmu kita, dsb tidak ada apa-apanya dibandingkan para orang shalih sebelum kita. Kita tanamkan dalam diri kita bahwa kita masih banyak kekurangan dalam ibadah, dalam hal ilmu agama, dalam hal hafalan quran, dsb.

2. Selalu menoto hati, menyetel/ setting ulang hati kita, jangan sampai dihinggapi rasa ujub. Menyadari sepenuhnya bahwa taufik dan hidayah bisa mengamalkan suatu ibadah, bisa memiliki ilmu agama, dsb, hanyalah karena idzin Alloh semata.

3. Selalu bersyukur dan tidak membanggakan amalan kita. Justru kita selalu merasa khawatir jangan-jangan amalan kita tidak diterima karena terhinggapi rasa ujub dan riya (pamer).

4. Selalu mengingat dan menyesali dosa-dosa yang telah kita perbuat (bahwa kita banyak khilaf dan dosa) serta hawatir dosa-dosa itu mengalahkan pahala/kebaikan yang kita lakukan.

5. Senantiasa berdoa agar terhindar dari rasa ujub dan pamer (riya), diantaranya :

“Allohumma inni audzubika an usyrika bika syai’an a’lamu, wa astaghfiruka limaa laa a’lamu”

Ya Alloh, saya berlindung kepada-Mu bahwa menyekutukan kepada-Mu yang saya ketahui, dan saya memohon ampun kepada-Mu pada apa-apa yang tidak saya ketahui”

“Allohumma inni audzubika min syarri nafsi, wamin syarri lisaani, wamin syarri bashori, wamin syarri maniyyi”

Ya Alloh, saya berlindung kepada-Mu dari jeleknya diriku (keburukan nafsu dsb), dari jeleknya lisan ku, dari jeleknya penglihatanku, dan dari jeleknya mani ku (diletakkan pada yang tidak halal).

Bila rasa ujub dibisikkan syetan dengan hembusan ke dalam hati kita, diantaranya :

” kamu lebih baik daripada dia !
” kamu lebih banyak shodaqohnya daripada dia !”,
” kamu lebih hafal quran daripada dia !”,
” Dia ngajinya lebih dulu daripada kamu lho, kok dia bacaan qurannya seperti itu ya, kok hafalan haditsnya begitu ya, apa dia nggak pernah nderes ?!”
” kamu lebih faham daripada dia, lho !”,
” kamu lebih ahli ibadah dari dia !”,
” kamu lebih terhormat dari dia !”, dsb”,

segeralah kita kikis habis dengan langkah di atas, karena kalau kita biarkan, maka kita akan terlena dan terperosok dalam kerugian. Amal ibadah yang kita lakukan menjadi sia-sia tak berguna karena rasa ujub tadi.

Naudzubillah min dzalik!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *