BPJS Syariah ? Ayo kita Dukung !

By | 1 Agustus 2015
syariah

” Wakil Ketua Umum sekaligus Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Ma’ruf Amin, mengatakan pada dasarnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan kebijakan yang bagus,MUI menyambut baik dengan diterbitkannya UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS. MUI juga bersyukur bahwa pemerintah, baik di tingkat pusat dan daerah telah melakukan berbagai program dan kegiatan untuk meningkatkan kemudahan akses masyarakat pada fasilitas kesehatan.Hanya saja, dalam pelaksanaannya perlu dibuat yang sesuai prinsip syariah, selain yang sudah ada (konvensional).Jadi, tidak mengganti yang konvensional tapi ada dua yang beroperasi.”

Fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan

Logo MUI, Fatwa BPJS Syariah, Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Sebagaimana yang kita ketahui, saat ini, masih hangat diperbincangkan khalayak ramai, Rabu (29/7), Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan fatwa tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan bahwa peraturan dan penyelenggaraan BPJS Kesehatan yang berjalan saat ini, belumlah sesuai syar’i /belum memenuhi syariat Islam karena dinilai mengandung unsurgharar(ketidakjelasan),maisir(berjudi) dan riba.

Salah satunya adalah terkait akad dana yang diinvestasikan yang tidak sesuai syariah dan mengenai bunga dua persen sebagai denda jika peserta menunggak bayar bulanan. Fatwa MUI tentang BPJS tersebut, telah melalui kajian dan penelaahan yang mendalam dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah.

Keputusan itu ditetapkan dalam Sidang Pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-5, yang digelar di Ponpes at-Tauhidiyah, Cikura, Tegal pada 7-10 Juni 2015 lalu.

Sidang yang dipimpin Ketua Bidang Fatwa MUI KH. Ma’ruf Amin itu, membahas sejumlah program pemerintah, termasuk modus transaksional yang dilakukan BPJS Kesehatan dari perspektif ekonomi Islam dan fiqih mu’amalah. Hal itu didasarkan pada Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur lainnya.

Tak pelak, fatwa tersebut membuat kaget berbagai kalangan dan menuai reaksi masyarakat karena mereka merasa tidak ada yang salah dengan BPJS yang berjalan selama ini, dimana mereka menganggap sebagai jaminan kesehatan yang halal, apalagi mereka merasa sangat terbantu dan merasa diringankan atas biaya berobat ke rumah sakit dengan adanya BPJS. Ada yang bingung, ada yang hawatir bilamana BPJS dihilangkan, namun ada juga yang tidak peduli. Di posisi manakah anda sekarang?

Berbeda dengan BPJS Kesehatan, kata Ma’ruf, dana pensiun sudah dilakukan dengan sistem syariah. Pengelola dana pensiun sudah berkonsultasi dengan MUI dengan melibatkan OJK agar menggunakan sistem syariah. Sementara BPJS kesehatan tidak berkonsultasi dengan MUI.

Ternyata, menyimak penjelasan MUI dan duduk perkara yang sebenarnya, tidaklah perlu berpolemik dan hawatir atas fatwa MUI mengenai BPJS Kesehatan tersebut.

Seperti dipertegas KH. Ma’ruf Amin, ” Usulan MUI kepada pemerintah agar membuat BPJS Syariah bukan berarti mengganti yang sudah ada yang bersistem konvensional. Tapi memberi ruang untuk masyarakat yang ingin memanfaatkan BPJS dengan pilihan yang bersistem syariah yang sesuai syar’i.

Jadi ada dua yang beroperasi, yang bersistem konvensional, juga ada yang bersistem syariah, seperti juga bank syariah, asuransi syariah, BPJS syariah, pegadaian syariah. Kita mengusulkan begitu kepada pemerintah,” demikian dipertegas KH. Ma’ruf Amin.

Hal inilah yang tidak difahami masyarakat, sehingga mereka bereaksi, salah sangka dan berpolemik bahwa MUI mengharamkan BPJS Kesehatan ini. Padahal tidak demikian.

Bila ada dua sistem BPJS beroperasi, tentu masyarakat bisa memilih jenis BPJS yang sesuai keyakinan dan kefahaman masing-masing. Artinya masyarakat tidak perlu resah dan panik.

Karena kurangnya informasi yang didapatkan, para warga terutama warga menengah ke bawah, yang sehari-hari hidup pas-pasan yang merasa sangat terbantu dengan adanya BPJS, mereka merasa bingung dengan keluarnya fatwa tersebut, padahal menurut mereka BPJS itu sangat membantu masyarakat kecil, meringankan beban ketika terkena musibah kecelakaan dan sejenisnya.

Pihak BPJS pun tidak mau disalahkan soal aturan denda 2 persen bagi peserta yang menunggak. BPJS hanya sebagai eksekutor yang menjalankan program sesuai dengan amanat Undang-Undang yang dibuat oleh pemerintah dan DPR.

Hanya saja BPJS menegaskan, bahwa tidak ada sama sekali bunga dalam pungutan biaya kesehatan masyarakat. BPJS juga menekankan tidak mengambil untung sama sekali dari program jaminan kesehatan ini.

“Kalau denda keterlambatan tidak berbunga dan tidak berhubungan dengan itu. Kita sama seperti bank syariah, kalau nasabah nunggak, telat bayar, ada biaya administrasi, keterlambatan, bukan menerapkan bunga majemuk. Kalau enggak bayar terus dikalikan bunga besar dari pokok itu enggak ada itu kewajiban peserta kalau nunggak dibayar denda memang, itu hanya dua persen dan hanya tiga bulan, berikutnya tanpa tambahan dua persen, dan kita prinsipnya nirlaba tidak ada kepentingan untuk meraup keuntungan karena dana terkumpul kembali ke manfaatkan peserta,” kata Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi.

Berikut kutipan wawancara merdeka.com dengan Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi.

T: Menurut MUI, salah satu yang haram yakni sistem bunga?

J: Kita enggak ada bunga, BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang diamanahkan oleh UU untuk menyelengarakan program jaminan kesehatan. Kita bukan institusi keuangan yang melakukan pembiayaan kepada pihak ketiga yang mungkin ada unsur tadi. Kita murni menyelengarakan, mengumpulkan pungutan duit yang dikumpulkan dengan gotong royong dan itu dipergunakan bagi yang sakit. Jadi gotong royong yang tidak sakit bantu yang sakit.

T: Lalu bunganya gimana?

J: Tidak, BPJS tidak membungakan uang, yang kita terima numpang lewat enggak lama langsung kita bayarkan. BPJS itu amanat UU, kita itu bukan regulator, tapi eksekutor. Jadi kita menyelenggarakan apa yang ditetapkan UU, peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Salah satu aturannya dalam UU penempatan dana maupun pengenaan denda kalau terlambat bayar iuran, tapi bukan wewenang BPJS untuk mengubahnya, BPJS bukan kewenangan kita menanggapi menolak atau menerima dari fatwa MUI itu.

Kita terbuka untuk masukan dari berbagai pihak, termasuk MUI, itu masukan. Nanti dilihat pemerintah silakan mengambil keputusan, BPJS menyelenggarakan saja. Saya tidak ke arah sana (setuju atau menolak) tapi yang saya tahu, bisa dilihat di rekomendasi MUI itu adalah mendorong pemerintah untuk menerapkan BPJS ini mengadopsi prinsip syariah.

Secara esensi bahwa penyelengaraan BPJS Kesehatan ini banyak muatan syariah. Pertama SJSN prinsip gotong royong, kalau bahasa arabnya, ta’awun, saling bantu, di situ ada prinsip syariah. Kalau ada pengenaan denda itu menjadi masukan pemerintah untuk regulasi, kita siap melaksanakan

T: Denda 2 persen itu berbunga pak? J: Kalau denda keterlambatan tidak berbunga dan tidak berhubungan dengan itu. Kita sama seperti bank syariah, kalau nasabah nunggak, telat bayar, ada biaya administrasi, keterlambatan, bukan menerapkan bunga majemuk. Kalau enggak bayar terus dikalikan bunga besar dari pokok itu enggak ada itu kewajiban peserta kalau nunggak dibayar denda memang, itu hanya dua persen dan hanya tiga bulan, berikutnya tanpa tambahan dua persen, dan kita prinsipnya nirlaba tidak ada kepentingan untuk meraup keuntungan karena dana terkumpul kembali ke manafaatkan peserta.

Alasan BPJS yang dinilai belum sesuai syar’i oleh MUI

Seperti yang dilansir merdeka.com, inilah yang menjadi alasan MUI atas fatwa yang dikeluarkan berkaitan BPJS Kesehatan konvensional:

Jika ditinjau pada Pasal 35 ayat (4), jika ada keterlambatan pembayaran iuran jaminan kesehatan, dikenakan denda administratif sebesar 2 persen per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan, yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja.

Sedangkan dalam ayat (1) memang pemberi kerja wajib memungut iuran. Sedangkan para peserta selambat-lambatnya harus menyetor iuran tersebut kepada BPJS Kesehatan tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.

Semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan. Ketentuan tersebut tak terkecuali juga bagi bagi orang asing yang telah bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia.

Iuran tersebut dialirkan seperti dalam ketentuan Pasal 36. Hal tersebut mengenai iuran peserta dibayarkan bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan, pemberi kerja, pekerja bukan penerima upah, bukan pekerja, dan anggota keluarga yang lain. Mekanisme pembayarannya diatur dalam Pasal 40 ayat (2) disetorkan melalui rekening kas negara kepada BPJS Kesehatan setiap bulan.

Berdasarkan ketentuan lembaga yang telah berdiri semenjak 1 Januari 2014 silam tersebut ada pembagian klasifikasi peserta BPJS Kesehatan menjadi dua kelompok yaitu peserta PBI jaminan kesehatan dan peserta bukan PBI jaminan kesehatan.

Peserta PBI jaminan kesehatan tidak memungkinkan mengalirkan uang denda yang disinyalir membuat BPJS haram. Sebab, PBI merupakan peserta jaminan kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu. Maka dari itu pembayaran iuran dilakukan oleh pemerintah.

Namun yang memungkinkan terkena denda senilai 2 persen yaitu peserta BPJS yang bukan PBI jaminan kesehatan, pekerja penerima upah dan anggota keluarganya. Kemudian juga pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya. Sedangkan yang terakhir yaitu bukan pekerja dan anggota keluarganya.

Ini solusi MUI bagi warga yang sudah pegang kartu BPJS

Berikut wawancara merdeka.com dengan Ketua Komisi Fatwa MUI, Ma’ruf Amin, Rabu (29/7):

Mengapa MUI mengharamkan BPJS Kesehatan?

Itu kan berdasarkan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia. Ada beberapa agenda yang dibahas oleh ulama seluruh Indonesia saat bertemu di Tegal.

Masalah yang utama adalah perundang-undangan, itu salah satunya BPJS. BPJS yang ada itu tidak sesuai syariah karena belum ada BPJS Syariah. Karena itu kita meminta supaya ada BPJS syariah.

Apa alasan yang menjadikan para ulama lantas setuju BPJS Kesehatan itu haram?

Karena akadnya tidak sesuai syariah, tidak menggunakan cara syariah, dan syariah itu kan ada polisnya. Sifatnya itu ada dana yang kita sebut tabarru’, kemudian digunakan untuk menjamin mereka yang memiliki polis itu. Itu semua sesuai dengan fatwa.

Selain itu, MUI juga mengharamkan denda administrasi sebesar 2 persen bagi peserta yang terlambat membayar, mengapa?

Ya tidak sesuai, karena memang kalau di dalam sistem syariah dana yang dipakai, dana yang digunakan adalah dana yang disepakati atau yang dikumpulkan para pemegang polis. Itu kan asuransi.

Jadi syariah wajib didirikan? Lalu bagaimana dengan BPJS yang konvensional?

Ya, BPJS Syariah wajib dibentuk sehingga ada, tidak mengganti yang konvensional. Segera adakan, tapi ada juga syariah. Ada dua yang beroperasi.

Lalu, bagaimana dengan umat Islam yang sudah terlanjur mendaftar? Apakah harus segera keluar dari BPJS konvensional?

Sekarang ini terpaksa karena itu kewajiban, dan itu dianggap sebagai darurat. Ini merupakan masalah, tapi tidak bisa diteruskan, harus dihentikan segera mungkin.

Jadi apakah boleh tetap menjadi anggota atau wajib keluar?

Ya nantinya kan dia pindah ke syariah. Sementara di tempat sama dulu.


BPJS Syariah? Why Not? Mari Dukung Usulan MUI tentang BPJS Syariah

Kita harusnya menyambut baik usulan MUI tersebut dan turut mendorong agar pemerintah dapat mewujudkan BPJS yang bersistem syariah, baik BPJS Kesehatan maupun BPJS ketenagakerjaan. Saat ini, masih banyak masyarakat yang belum mendaftar BPJS karena mereka menunggu BPJS yang sesuai prinsip syariah. Dengan adanya 2 sistem BPJS beroperasi, sehingga nanti masyarakat bisa memilih mau BPJS yang syariah atau yang non syariah.

Mari kita serahkan sepenuhnya kepada pemerintah apa yang harus dilakukan nanti dengan keluarnya fatwa itu. Insya Allah, polemik ini bisa dicarikan solusi oleh Pemerintah,MUI, DPR dan berbagai pihak terkait secara bersama-sama,

Demi kemaslahatan umat dan optimalnya peserta BPJS, agar mereka yang ingin ber-BPJS syariah, tidak hadapi kendala. Jadi, mengapa tidak kita dukung, mari kita dukung adanya BPJS Syariah.

BukankahFatwa MUI tentang BPJS Kesehatan adalah untuk Melindungi Konsumen Muslim dari unsur-unsur yang tidak Halal?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *